Selasa, 31 Mei 2011

FIQH PRIORITAS

PRIORITAS ILMU ATAS AMAL

DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."

Islam mengajarkan seluruh tata cara beramal dalam kehidupan ini, termasuk dalam hal-hal yang membutuhkan skala prioritas. Dengan kata lain, umat Islam perlu memahami tentang aktifitas-aktifitas yang wajib dan mendesak untuk didahulukan dan juga perlu mengetahui hal-hal yang diahirkan dari keseluruhan aktifitas-aktifitas. Pemahaman ini (fiqh) mutlak dibutuhkan agar umat Islam mampu mengerjakan seluruh kewajiban-kewajibannya secara optimal dam mampu meninggalkan larangan-larangan Alah SWT secara bertahap.

Ada beberapa tingkatan manusia dalam hal menerima ajaran agama, yaitu: Tingkatan orang yang paling tinggi ialah orang yang memahami ilmu pengetahuan, memanfaatkannya, kemudian mengajarkannya. Sedangkan tingkatan yang berada di bawahnya ialah orang yang mempunyai hati yang dapat menyimpan (dapat menghafal dengan baik), tetapi dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal pikiran mereka, sehingga dia dapat membuat kesimpulan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal.

PRIORITAS PEMAHAMAN ATAS HAFALAN

Orang yang menerima ajaran agama itupun bermacam-macam, seperti beraneka ragamnya tanah yang menerima air hujan. Tingkatan orang yang paling tinggi ialah orang yang memahami ilmu pengetahuan, memanfaatkannya, kemudian mengajarkannya. Ia bagaikan tanah yang subur dan bersih, yang airnya dapat diminum, serta menumbuhkan berbagai macam tanaman di atasnya. Tingkatan yang berada di bawahnya ialah orang yang mempunyai hati yang dapat menyimpan, tetapi dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal pikiran mereka, sehingga dia dapat membuat kesimpulan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Mereka adalah orang-orang yang hafal, dan bila ada orang yang datang memerlukan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia dapat memberikan manfaat hafalan itu kepadanya. Orang-orang seperti inilah yang dapat dimanfaatkan ilmu pengetahuan mereka. Kelompok orang seperti ini diumpamakan seperti tanah cadas yang mampu menampung air, sehingga datang orang yang meminum airnya, atau memberi minum kepada binatang ternaknya, atau menyirami tanaman mereka.

Di antara persoalan yang sangat memalukan dalam dunia pendidikan di negara kita ialah bahwa pendidikan itu kebanyakan didasarkan kepada hafalan dan "kebisuan", serta tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh karena itu, kebanyakan pelajar lupa apa yang telah dipelajarinya setelah dia menempuh ujian. Kalau apa yang mereka pelajari

didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah hilang dari ingatan.

PRIORITAS DALAM BERBAGAI BIDANG AMAL

Amal manusia di sisi Allah memiliki berbagai tingkatan: amalan yang tertinggi adalah amal yang kontinyu (meski sedikit), sehingga amal tersebut lebih disukai Allah dibanding amal yang terputus-putus. Amalan yang sebaiknya diterapkan oleh setiap manusia ialah amalan yang banyak mendatangkan manfaat kepada orang lain, karena besar manfaat yang dirasakan oleh orang lain, sebesar itu pula keutamaan dan pahalanya di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, amalan yang luas manfaatnya lebih didahulukan daripada amalan yang kurang bermanfaat. Dan diantara amalan yang bermanfaat tersebut, amal perbuatan yang lebih lama manfaatnya dan lebih langgeng kesannya lebih diutamakan dibanding amal perbuatan yang sebentar manfaatnya.

PRIORITAS DALAM PERKARA YANG DIPERINTAHKAN

Aqidah adalah masalah pokok, sedang syari’ah adalah perkara cabang. Iman adalah perkara pokok, sedangkan amalan merupakan perkara cabang. Oleh karena itu, perkara pokok didahulukan atas perkara cabang. Kita harus mendahulukan hal fardhu ‘ain atas fardhu kifayah (hal yang paling wajib atas hal yang wajib), serta mendahulukan hal fardhu atas sunnah dan nawafil (hal yang wajib atas mustahab), dan kita perlu menganggap mudah hal-hal yang sunnah dan mustahab, serta harus mengambil berat terhadap hal-hal yang fardhu dan wajib. Kita mesti menekankan lebih banyak terhadap perkara-perkara fardhu yang mendasar daripada perkara yang lainnya, itu berarti salah ketika kita menyibukkan diri dalam perkara sunnah dengan meninggalkan perkara fardhu.